MAHABBAH
PENDAHULUAN
Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad sendiri –yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin).[1] Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.[2]
Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya.
AL - MAHABBAH
A. PENGERTIAN AL – MAHABBAH
Mahabbah ( cinta) mengandung arti keteguhan dan kemantapan . seorang yang sedang dilanda cinta pada sesuatu tidak akan berpaling pada sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh dan mantap, serta senantiasa memikirkan yang dicinta.[3]
Mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud cinta adalah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain adalah yang sebagai berikut :
- Yaitu kasihkan Allah subhanahu wata‘ala dengan mengingatiNya pada setiap masa dan keadaan.
- Kasihkan Allah ialah dengan segera melakukan segala perintahNya dan berusaha mendampingkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunat dan bersungguh-sungguh menghindari maksiat serta perkara-perkara yang membawa kemarahanNya[4]
- Memluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepadaNya
- Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
- Mengosongkan hati dari segala segalanya kecuali dari diri yang dikasihi[5]
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.[6]
B. DASAR-DASAR AJARAN AL - MAHABBAH
Dasar Syara’
· Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW. Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.[7]
a. Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
QS. Al-Baqarah ayat 165
· Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
b. Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
· ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
· Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke nerak
C. TINGKATAN AL - MAHABBAH
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.[8]Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).[9] Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.[10]
D. MACAM MACAM KECINTAAN
Macam – macam kecintaan dan penjelasan serta status kebolehannya dalam menempati hati kita :
ü Mahabbatullah (cinta kepada Allah), dalah dasar keutamaan keimanan.
ü Al – Mahabbah fillah (cinta karena Allah), yaitu loyalitas kepada kaum mukminin dan mencinta mereka secara global. Adapun secara individu diantara mereka, masing masing dicintai sesuai kadar kedekatan dan ketaatannya kepada Allah, dan kecintaan ini hukumnya wajib.
ü Mahabbah ma’allah (kecintaan bersama Allah), yaitu mencintai Allah dalm kecintaan yang wajib sama seperti mencintai Allah, seperti kecintaan kaum musyrikin terhadap berhala-barhala mereka. Kecintaan seperti ini adalah pokok Syirik.
ü Mahabbah thabi’iyah (kecintaan yang wajar), seperti mencintai kedua orang tua, anak-anak, mencintai makanan dan lainnya, kecintaan ini adalah boleh.[11]
PENUTUP
Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat, seperti puisi yang didengungkan oleh Ibnu Arabi di awal makalah.
Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Dari penelitian yang pernah dilakukan penulis, term-term cinta yang ditampilkan Alquran justru bersifat dinamis dan menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial. Karena itu tidaklah mengherankan jika di akhir abad 19 hingga awal abad 20, beberapa kelompok sufi di Afrika Utara menjadi pendorong perlawanan terhadap penjajahan Barat.
[1] Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107)
[2] Al Ghazali,Terjemah Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt), juz IV, hal. 293
[3] Hasyim Muhammad, mDialog antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta, Pustaka pelajar offset, 2002, hlm 48
[4] Al azim. Com. tasawuf
[5] Prof. Dr. Harun Nasution, falsafah dan mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1983, hlm 70
[6] Al-Ghazali, terjemah Ihya., op. cit.., juz 4, hal. 296.
[7] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 22-34.
[8] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), hal.85
[9] Ibid., hal. 87.
[10] Ibid., hal. 88.
[11] Tafsir Al – ‘Usyr Al- akhir dari Al Quran al karim
Komentar
Posting Komentar